Baner

Senin, 29 April 2013

Teori Kejahatan Perspektif Sosiologis

Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan sosial control (kontrol sosial). (Topo Santoso, Eva Achjani S 2001:55).
Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (sosial forces) yangmenyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
a)      Teori Strain
Menurut Durkheim satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar susunan-susunan sosial berfungsi. Maka masyarakat seperti itu ditandai oleh keterpaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu dysfunctional (tidak berfungsi). Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai). (Topo S & Eva A. S, 2001:56-57)   
b)    Teori Penyimpangan Budaya (cultural deviance theories)
Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Tiga teori utama dari cultural deviance theories adalah sebagai berikut:
1.    Theory Sosial Disorganization
Teori ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. (Topo S & Eva A. S, 2001:65).   
2.    Theory Differential Association
Teori ini berpendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola-pola tingkah laku . (Topo S & Eva A. S, 2001:66)    
3.    Theory Culture Conflict
Teori ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduct norms (aturan-aturan yang mengatur tingklah laku) yang berbeda, dan bahwa conduct norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan konvensional kelas menengah. (Topo Santoso, Eva Achjani S, 2001:66)
Ketiga teori diatas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada kenyataannya menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada norma-norma yang menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan.
c)        Teori Kontrol Sosial
Menurut teori ini penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum. Oleh  karena itu, para ahli teori ini menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum.

Objek Kajian Sosiologi


Objek Kajian Sosiologi
Kajian Sosiologi sebagai disiplin ilmu baru muncul sejak pengkajian masyarakat lepas dari pengaruh filsafat, yaitu sejak Emile Durkheim merintis kajian mengenai realitas sosial dengan menggunakan penelitian ilmiah. Sebagai suatu ilmu, sosiologi tidak lagi mendasarkan pembicaraannya pada dugaan-dugaan, firasat, dan coba-coba.
Hasil pemikiran ilmiah terbukti sebaliknya, sebab keluarga yang memiliki banyak anak beban hidupnya semakin besar dan sulit untuk mencukupi kebutuhannya. Emile Durkheim menjelaskan, bahwa objek studi sosiologi adalah fakta atau realitas sosial. Fakta sosial menurut Durkheim, harus dipelajari melalui kegiatan penelitian. Salah satu realitas sosial adalah kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok yang dibangun manusia dalam kehidupannya di masyarakat dapat berupa keluarga, suku bangsa, komunitas dan pemerintahan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, organisasi politik, organisasi bisnis, dan lain-lain. Tindakan dalam interaksi antar kelompok, asal-usul pertumbuhan kelompok, dan pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotanya juga tidak lepas dari kajian sosiologi.
Max Weber berpendapat, bahwa pokok pembicaraan sosiologi adalah tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia tergolong tindakan sosial. Tindakan yang berorientasi kepada orang lainlah yang termasuk tindakan sosial. Ini berarti, bahwa sosiologi mempelajari interaksi manusia yang satu dengan manusia yang lain (interaksi sosial). Interaksi sosial dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial, sehingga kajian Sosiologi juga merupakan kajian mengenai proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Weber berpendirian bahwa hanya individu-individu yang nyata secara obyektif, dan masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Weber juga menambahkan, bahwa seorang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar. Pemikiran seperti ini juga tampak jelas pada konsep yang diajukan Karl Marx (1818-1883) yang menganggap bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Marx berpendapat bahwa akibat kapitalisme, masyarakat Eropa terbagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas kaum borjuis yang menguasai semua aset produksi, dan kelas kaum proletar yang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Marx menyarankan agar kaum proletar berjuang untuk mendobrak ketidakadilan melalui sebuah perjuangan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, Alex Inkeles (1965) memadukan berbagai konsep tersebut, sehingga Kajian Sosiologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan sosial, institusi sosial, dan masyarakat. Semakin lama objek yang dikaji sosiologi semakin meluas, sehingga Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa sosiologi mempelajari tiga aspek sebagai berikut.
a.       Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya.
b.      Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya gejala geografis, gejala biologis, dan sebagainya.
c.       Sosiologi juga mempelajari ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial. Dua orang sosiolog Indonesia, yaitu Selo Sumardjan dan Soelaeman soemardi menjelaskan lebih rinci pemahaman mengenai sosiologi.
Menurut mereka, sebagai ilmu kemasyarakatan, sosiologi mempelajari struktur dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok dalam masyarakat itu meliputi kaidah-kaidah (norma-norma kemasyarakatan), Lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan dalam masyarakat. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, antara hukum dengan kehidupan beragama, antara aspek kehidupan beragama dengan masalah ekonomi, dan sebagainya.
Sebuah konsep pemikiran lain yang lebih rinci, sehingga membuat kajian sosiologi bersinggungan dengan berbagai cabang ilmu lain disampaikan oleh Hassan Shadily dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Masyarakat Indonesia. Di dalam bukunya, Shadily menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan; dengan mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh; serta berubahnya perserikatan-perserikatan, kepercayaan dan keyakinan. Untuk menganalisis cara hidup dan bergaul manusia perlu dipelajari sifat-sifat biologi manusia, seperti perasaan lapar, sakit, takut, dan kebutuhan seks yang lebih banyak diatur oleh peradaban masyarakat. Analisis seperti ini, akhirnya melahirkan cabang-cabang sosiologi sebagai berikut:
a.       Kriminologi, mengkaji tindak kriminal dan penyebabnya serta usaha-usaha pengembangan berbagai metode pencegahan kejahatan;
b.      Demografi, mempelajari bentuk, komposisi dan persebaran populasi manusia;
c.       Ekologi manusia, mempelajari struktur lingkungan perkotaan dan pola-pola penempatan dan pertumbuhan penduduknya;
d.      Ekologi politik, mempelajari cara-cara seseorang mendapatkan dan menggunakan kekuasaan dalam suatu sistem politik, termasuk munculnya berbagai gerakan politik;
e.       Psikologi sosial, mempelajari tingkah laku sosial yang dilakukan oleh individu dan hubungannya dengan individu lain dalam suatu masyarakat;
f.       Sosiolinguistik, mempelajari cara manusia menggunakan bahasa dalam berbagai situasi masyarakat.

Pengertian Sosiologi


Pengertian Sosiologi

August comte, adalah bapak sosiologi dunia (the founding father of sociology). Lahir di Mountpelier, prancis 19 januari 1798, ia merupakan orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. August comte memikirkan bagaimana kaidah ilmu pengetahuan alam (fisika) dapat diterapkan dalam ilmu sosial. Menurut comte, jika pegetahuan alam yang ilmiah dapat menghasilkan kemajuan di bidang sosial. Melalui pemikirannya itu, lahirlah fisika sosial, atau yang lebih dikenal sebagai sosiologi. Comte mengembangkan sosiologi untuk merespon kekacauan yang timbul akibat revolusi yang terjadi di Eropa saat itu. Melalui sosiologi, perubahan sosial diharapkan terjadi lebih damai karena sosiologi merupakan ilmu yang sangat penting untuk mengatur kehidupan sosial. August comte juga dikenal memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis hanya dengan sekali membaca. Namun, di akhir hidupnya comte mengalami gangguan mental besar dan berkhayal sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. (sumber : Ritzer, 2004: 19)
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Berikut, beberapa defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog dunia.
·              Pitrim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :
                          i.            Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat dengan politik; dan lain sebagainya);
                        ii.            Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya);
                      iii.            Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
·              Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia dan kelompok-kelompok.
·              William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah organisasi sosial.
·               J. A.A van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
·              Selo Sumardjan dan Soelaeman soemardi meyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Rabu, 10 April 2013

Kejahatan menurut ilmu Sosiologi


Kejahatan
Sosiolog berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Maka, angka-angka kejahatan masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses. Misalnya, gerakan sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama, ekonomi dan seterusnya.
Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, pelaksana peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi (selfconception) dan kekecewaan yang agresif sebagai proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan dengan pendekatan sosiologis tersebut diatas, dapat dikemukakan teori-teori sosiologis tentang prilaku jahat. Salah satu diantara sekian teori-teori tersebut adalah dari E.H. Sutherland yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain, dan orang tersebut mendapatkan perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada. Sutherland menyebunya sebagai proses proses asosiasi yang diferensial (differential association), karena apa yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dengan pola-pola perilaku yang jahat, berbeda dengan apa yang dipelajari dalam proses interaksi dengan pola-pola perilaku yang tidak suka pada kejahatan. Apabila seseorang menjadi jahat, maka hal itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak dengan pola-pola perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut.
Selanjutnya diakatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komuniksai seperti buku, surat kabar, film, televisi, radio memberikan pengaruh-pengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
Sutherland (Principles of Criminology. 1960), berpendapat bahwa kelakuan yang bersifat jahat (Criminal behavior) adalah kelakuan yang melanggar Undang-Undang/hukum pidana. Bagaimanapun im-moril nya atau tidak patutnya suatu perbuatan, ia bukan kejahatan kecuali bila dilarang oleh Undang-Undang/hukum pidana.
Sutherland (1960) mencoba pula untuk memberikan defenisi dalam istilah/arti sosial (dan bukan dalam arti hukum) mengenai kejahatan. Kejahatan dalam arti ini mengandung 3 unsur :
1.      Adanya suatu nilai (value) yang diterima oleh suatu kelompok atau sebagian dari kelompok yang secara politis penting.
2.      Adanya isolasi atau adanya culture conflict pada bagian lain dari kelompok ini, sehingga anggota-anggotanyatidak atau kurang menerima nilai (value) tersebut sehingga dapat membahayakannya.
3.      Adanya suatu paksaan dari golongan yang menerima nilai tersebut terhadap golongan yang tidak menerima nilai tersebut.
Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah prilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas. Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.
Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the social point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini memandang kejahatan sebagai setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu prilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini dimungkinkan oleh karena adanya sistem kaedah dalam masyarakat.
Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan.
Adapun unsur-unsur pokok untuk menyebut sesuatu perbuatan kejahatan, yaitu:
1.      Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm)
2.      Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.      Harus ada perbuatan (Criminal act)
4.      Harus ada maksud jahat (Criminal intent = mens rea)
5.      Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
6.      Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan.
7.      Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
Dari ketujuh unsur pokok tersebut, ada 3 unsur terpenting, yakni kerugian, maksud jahat, dan perbuatan.